"Mohon Maaf Lahir Batin" adalah kalimat yang kerap kita dengar pada saat lebaran- begitu juga pada sms-bb-fb - dan medsos lainnya.
Apakah ucapan ini ada hubungannya dengan pengelolaan emosi ?
Pada tahun 1998, Martin Seligman menjabat sebagai presiden APA menawarkan ilmu pengetahuan baru yang dinamakannya dengan psikologi positif. Psikologi positif sendiri hadir untuk mengatasi problematika yang semakin menghawatirkan banyak pihak. Psikologi positif dinyatakan sebagai suatu ilmu yang ingin mengubah penekanan dalam disiplin ilmu psikologi dari suatu model penyakit ke suatu model sehat untuk melengkapi apa yang sudah dikembangkan oleh ahli psikologi terdahulu. Tujuan utama psikologi positif adalah memahami, membangun dan memberdayakan kekuatan-kekuatan yang dimiliki manusia (Diener dan Diener 2003). Caranya adalah dengan mengembangkan aspek positif dalam diri manusia, salah satunya adalah dengan berperilaku maaf.
Sebagaimana kodratnya, manusia tidak pernah dapat dilepaskan dari interaksi sosialnya. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, aktivitas yang individu lakukan selalu berhubungan dan melibatkan orang lain. Hubungan interpersonal tersebut adakalanya menimbulkan rasa senang, aman dan nyaman. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri juga, konflik adalah suatu hal yang juga tidak dapat dilepaskan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Pendek kata, menjalin hubungan interpersonal berarti harus siap dengan segala resiko yang ada baik itu yang berhubungan dengan kesenangan atau kesakitan.
Akan tetapi, konflik sesungguhnya tidak selalu berakibat buruk. Karena pada dasarnya ada konflik yang sifatnya konstruktif (membangun) dan ada pula yang sifatnya destruktif (merusak). Hal ini sangat bergantung pada bagaimana individu mensikapi dan menangani konflik yang ada (Sadardjoen, dalam Dayakisni: 2008).
Konflik yang tidak dapat diatasi secara baik, akan menimbulkan konflik yang lebih besar dan berkepanjangan. Rasa sakit hati dan pikiran – pikiran negatif terhadap orang lain yang kemudian disertai dengan pembalasan adalah hal yang sering menyertai ketika konflik tidak dapat diredam. Lantas bagaimanakah konflik yang konstruktif itu? Bagaimanakah menjalin hubungan interpersonal yang lebih harmonis setelah terjadi rasa sakit?
Baron dan Byrne (2004) menyebutkan ada empat pilihan reaksi yang mungkin dilakukan ketika konflik yaitu pertama adalah sikap aktif menyelesaikan konflik. Kedua adalah loyalty atau sikap menunggu dengan harapan konflik dapat terselesaikan dengan sendirinya. Sikap ketiga adalah exit atau melarikan diri dari penyelesaian konflik. Dan sikap keempat adalah neglect atau berharap masalah menjadi lebih buruk. Sementara itu menurut Fincham (2000), memaafkan adalah sikap yang paling ideal dalam menyelesaikan konflik. Pemaafan memberikan suatu cara untuk menghadapi tantangan dalam menghilangkan hambatan-hambatan untuk berhubungan setelah mengalami rasa sakit hati. Tindakan memaafkan akan menyembuhkan luka dan mengurangi nestapa, membangun sesuatu yang baru, yang lebih konstruktif dan memotong siklus kekerasan. Dengan memaafkan seseorang terhindar dari dampak penghancuran diri karena terlalu lama menanggung beban kesakitan dan dendam sebagai korban.
Agama-agama dan nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat manusia umumnya meletakkan pemaafan atau pemberian maaf (forgiveness) ini sebagai salah satu pilar ajarannya. Pemaafan atau pemberian maaf sendiri berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati (Shihab, 2001). Dalam agama Islam misalnya, Allah ‘azza wa jalla memerintahkan manusia untuk memberikan maaf kepada orang lain: “apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang” (QS At-Taghabun:14).
“Forgiveness research” atau penelitian tentang perilaku memaafkan merupakan bidang yang kini banyak diteliti ilmuwan di sejumlah bidang keilmuan seperti kedokteran, psikologi dan kesehatan. Hal ini karena sikap memaafkan ternyata memiliki pengaruh terhadap kesehatan jiwa raga, maupun hubungan antar-manusia. Jurnal ilmiah EXPLORE edisi Januari/Februari 2008, Vol. 4, No. 1 memaparkan bahwa perilaku memaafkan mendatangkan manfaat kesehatan bagi orang yang memaafkan. Lebih jauh dari itu, penelitian terbaru mengisyaratkan pula bahwa pengaruh memaafkan ternyata juga berimbas baik pada kehidupan orang yang dimaafkan.
Worthington Jr., pakar psikologi di Virginia Commonwealth University, AS, dkk merangkum kaitan antara memaafkan dan kesehatan., di jurnal Explore, Mei 2005, Vol.1, No. 3, Worthington dkk memaparkan dampak sikap memaafkan terhadap kesehatan jiwa raga, dan penggunaan “obat memaafkan” dalam penanganan pasien.
Anjuran agama untuk saling memaafkan.
Tidak sedikit dalil naqli baik dari al-Quran dan al-Hadis yang menganjurkan kepada manusia. Dalam Islam, Allah dilukiskan sebagai Maha Pemaaf (Maha Pengampun). Tidak seperti manusia, Allah memberikan maaf kepada siapa saja yang dikehendakinya, sekiranya orang tersebut memohon maaf dan berjanji tidak melakukan lagi perbuatannya. Alquran menggunakan 3 buah kata untuk melukiskan bentuk-bentuk pengampunan (permaafan); taubat, al-‘awf (maaf) dan al-Shaf (lapang dada). 2 kata terakhir memiliki kaitan langsung dengan maaf dimana 2 kata itu menunjukkan tingkatan pemberian maaf. Jika Anda memaafkan orang lain, maka maaf Anda bisa berada dalam 2 tingkat berikut; Anda memaafkan dia, tetapi tidak melupakan perbuatannya. Orang-orang Barat menyebut dengan kalimat ‘forgive, but not forget’ (memaafkan, tetapi tidak melupakan). Ibarat sebuah kertas penuh tulisan, maaf Anda seperti penghapus menutup tulisan itu. Tulisan tidak terhapus, tetapi sudah tidak terbaca lagi. Masih ada sisa-sisa hapusan yang sedikit kotor. Maaf pada level kedua adalah ketika Anda melupakan sama sekali apa yang pernah terjadi pada diri Anda. Anda tidak lagi menghapus tulisan, tetapi membuka lembaran baru yang kosong. Maaf jenis ini disebut al-Shaf. Maaf Anda disebabkan karena Anda memiliki kelapangan dada. Kata ‘berjabat tangan’ dalam bahasa Arab adalah ‘mushafahat’ yang diambil dari kata al-shaf tadi. Meski tidak segera sirna rasa dendam dan sulitnya muncul rasa maaf, tetapi dengan berjabat tangan setiap bertemu akan mencairkan rasa benci dan dendam itu.
Kata-kata maaf dalam berbagai ajaran agama bukan merupakan kata yang asing. Dalam kitab suci al-Quran dapat ditemukan puluhan kata maaf. Dalam al-Quran, Tuhan menyebutnya dengan Ghofur, yang artinya maha mengampuni. Dalam surat al-Baqoroh, Allah menunjukkan bagaiman ia mengampuni kesalahan Adam dengan mengajarkan berbagai kalimat. Beberapa ayat kemudian, Allah menjelaskan bagaimana ia mengampuni Bani Israil setelah mereka mengambil anak sapi sebagai Tuhan. Allah berfirman “ Kemudian kami maafkan kamu setelah itu (penyembelehan anak sapi agar kamu bersyuklur (Q.S Al-Baqoroh).
Dalam QS.24:22 dikatakan: “hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah kamu tidak ingin diampuni Allah?”. Dalam ayat lain QS.2:109: “maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada. Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya)”.
Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam adalah pribadi yang mudah memberi maaf dalam sejarah kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW dikenal mudah memaafkan seseorang yang menyakitinya. Diceritakan bahwa, suatu saat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah kepada orang-orang daerah Thaif. Ternyata mereka bereaksi negative atas dakwah Nabi Muhammad, yaitu menolak bahkan menyakiti fisik Nabi Muhammad. Ternyata sikap kasar orang-orang Thaif ini, Nabi Muhammad menunjukkan pemberian maafnya. Nabi Muhammad juga optimis bahwa anak cucu orang-orang Thaif kelak akan menjadi orang-orang yang beriman. Kisah lain menyebutkan, bahwa ada Nabi Muhammad ketika akan beribadah atau berangkat berdakwah selalu ada seseorang yang meludahi. Akan tetapi, beliau bereaksi tenang dan tidak membalasnya. Justru Nabi Muhammad terheran-heran manakala lewat jalan tersebut si peludah tidak tampak. Saat tahu bahwa si peludah sakit, Nabi Muhammad bersilaturrahmi pada orang tersebut, sesuatu yang sangat menggetarkan hati si peludah. Dan akhirnya si peludah meminta maaf kepada Nabi Muhammad dan menyatakan diri masuk agama Islam. Begitulah strategi Nabi Muhammad dalam melakukan dakwah, tidak dengan cara kekerasan akan tetapi dengan mauidloh hasanah dan memberi maaf.
Pengaruh Maaf Terhadap Fungsi Psikofisologis Manusia.
McCullough pakar psikologi yang merupakan salah satu pioner dalam penelitian maaf, menytatakan bahwa maaf berpengaruh positif terhadap fungsi jasmani (fisiologis) dan kejiwaan (psikologis). Aspek psikologis pemberian maaf dapat menigkatkan emosi positif , resiliensi dan menumbuhkan harapan.
McCullough dkk (1997) mengatakan ahli-ahli psikologi yang mendalami perilaku maaf mengkonsepsikan maaf sebagai sebagai sekelompok perubahan motivasi terhadap penganiayaan. Tatakala orang memaafkan, mereka termotivasi untuk menghindari dan mengurangi hal-hal yang berkaitan dengan balas dendam (revengeace) dan menigkatkan motivasi yang berkaitan dengan rasa sayang, kebaikan, kedermawanan, persahabatan, dll.
Di samping itu, kajian ilmiah membuktikan bahwa memaafkan terkait erat dengan kemampuan orang dalam mengendalikan dirinya. Hilangnya pengendalian diri mengalami penurunan ketika orang memaafkan dan hal ini menghentikan dorongan untuk membalas dendam.
Thoresen dkk (2000) menyarankan beberapa mekanisme psikososial yang dapat menerangkan keterkaitan maaf dengan kesejahteraan fisik dan psikis. Menurutnya, maaf dapat meningkatkan pemikiran optimis dan mengurangi keputusasaan, meningkatkan efikasi diri, peningkatan dukungan sosial dan emosional dan untuk beberapa individu meningkatkan rasa transenden.
Perilaku maaf dapat meningkatkan kebahagiaan dari kemampuan individu untuk menolong orang dalam memperbaiki dan melindungi serta mempertahankan hubungan dekat dan suportif (Karremans, dkk, 2003).
Sebaliknya, seseorang yang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain akan menyebabkan nyeri emosional akibat rasa dendam dan marah yang berkepanjangan dan merusakan kenyamanan jiwa. Jika dendam dan marah terus menerus menumpuk—gejala ini merupakan gejala utama dari mereka yang mudah marah dan membenci—merupakan perusak utama dari kehidupan emosional yang baik. Ilmu psikoneuroimnologi menjelaskan bahwa mereka yang pendendam dan sulit memberikan maaf bagi orang lebih mudah menderita penyakit fisik dan mental dibandingkan mereka yang tidak atau kurang memiliki perilaku itu. Para pendendam biasanya memiliki stok marah yang lebih banyak dibandingkan bukan pendendam. Mereka mudah sekali marah jika melihat obyek marah berada di sekitar mereka. Mereka juga kehilangan emosi positif ketika dendam mulai mendera.
Orang-orang ini melihat kehidupan dengan sudut pandang negatif, hitam putih dan berdimensi jangka pendek. Mereka yang berpandangan jangka pendek biasanya memiliki kesulitan hidup baik. Pola pikir ini telah menghalangi mereka untuk melihat kebaikan pada diri orang lain, termasuk menyadari bahwa manusia bisa berubah setiap saat. Orang-orang ini juga menderita gangguan jiwa paranoid, yakni sikap mudah curiga pada segala hal yang dilakukan oleh seseorang yang dimusuhinya. Para pendendam berkeyakinan bahwa setiap hal yang dilakukan oleh musuhnya—meski itu sebuah kebaikan—merupakan cara untuk menyakiti dirinya, dan bermaksud melukai hatinya.
Dengan memaafkan seseorang akan dapat memperluas dan menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan orang lain. Persahabatan akan terjalin dengan kekal jika satu sama lain bisa saling memaafkan. Hal akan dapat mencegah kedzaliman yang terulang terhadap sesama. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Harry M. Wallace (2008), menyimpulkan bahwa menyatakan pemberian maaf biasanya menjadikan orang yang mendzalimi si pemaaf tersebut untuk tidak melakukan tindak kedzaliman serupa di masa mendatang.
Penelitian menggunakan teknologi canggih pencitraan otak seperti tomografi emisi positron dan pencitraan resonansi magnetik fungsional berhasil mengungkap perbedaan pola gambar otak orang yang memaafkan dan yang tidak memaafkan.
Orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah, yang berdampak pada penurunan fungsi kekebalan tubuh. Mereka yang tidak memaafkan memiliki aktivitas otak yang sama dengan otak orang yang sedang stres, marah, dan melakukan penyerangan (agresif).
Demikian pula, ada ketidaksamaan aktivitas hormon dan keadaan darah si pemaaf dibandingkan dengan si pendendam atau si pemarah. Pola hormon dan komposisi zat kimia dalam darah orang yang tidak memaafkan bersesuaian dengan pola hormon emosi negatif yang terkait dengan keadaan stres. Sikap tidak memaafkan cenderung mengarah pada tingkat kekentalan darah yang lebih tinggi. Keadaan hormon dan darah sebagaimana dipicu sikap tidak memaafkan ini berdampak buruk pada kesehatan.
Raut wajah, daya hantar kulit, dan detak jantung termasuk yang juga diteliti ilmuwan dalam kaitannya dengan sikap memaafkan. Sikap tidak memaafkan memiliki tingkat penegangan otot alis mata lebih tinggi, daya hantar kulit lebih tinggi, dan tekanan darah lebih tinggi. Sebaliknya, sikap memaafkan meningkatkan pemulihan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Kesimpulannya, sikap tidak mau memaafkan yang sangat parah dapat berdampak buruk pada kesehatan dengan membiarkan keberadaan stres dalam diri orang tersebut. Hal ini akan memperhebat reaksi jantung dan pembuluh darah di saat sang penderita mengingat peristiwa buruk yang dialaminya. Sebaliknya, sikap memaafkan berperan sebagai penyangga yang dapat menekan reaksi jantung dan pembuluh darah sekaligus memicu pemunculan tanggapan emosi positif yang menggantikan emosi negatif.
Sebuah penelitian eksperimental di Amerika serikat dengan menggunakan pasien kanker di sebuah rumah sakit membuktikan bahwa pasien yang dikondisikan untuk memaafkan orang lain ternyata memiliki tingkat kepulihan yang cukup signifikan dibandingkan dengan pasien yang tidak diberi perlakuan.
Berdasarkan bukti berlimpah sikap memaafkan yang berdampak positif terhadap kesehatan jiwa raga, kini di sejumlah negara-negara maju telah dilakukan berbagai pelatihan menumbuhkan jiwa pemaaf dalam diri seseorang. Bahkan perilaku memaafkan ini mulai diujicobakan di dunia kesehatan dan kedokteran dalam penanganan pasien penderita sejumlah penyakit berbahaya.
Orang yang menderita resiko penyakit jantung koroner dan tekanan darah tinggi berpeluang mendapatkan manfaat dari sikap memaafkan. Telah dibuktikan bahwa 10 minggu pengobatan dengan menggunakan “sikap memaafkan” mengurangi gangguan kerusakan aliran darah otot jantung yang dipicu oleh sikap marah.
Rasa sakit kronis dapat diperparah dengan sikap marah dan kesal (dendam). Penelitian terhadap orang yang menderita sakit kronis pada punggung bawah menunjukkan bahwa rasa marah, sakit hati, dan sakit yang dapat dirasakan secara inderawi lebih berkurang pada mereka dengan sikap pemaaf yang lebih besar.
Faktor kognitif dan Emosi yang mendorong tindakan memaafkan
Suatu eksperimen memberikan pencerahan terhadap faktor kognitif dan emosi yang dapat menfasilitasi dan merusak perilaku maaf. McCullough, Worthington dan Rachel (1997) membantu untuk menyediakan rasional teoritis mengapa empati terhadap penganiaya merupakan penyebab penting terhadap perilaku maaf. Mereka berpendapat bahwa maaf memiliki struktur dan fungsi mirip dengan perilaku altruistik (senang menolong) dan serupa dengan apa yang dapat ditemui dalam emphaty (Batson, 1999). McCullough (1997) dalam studi pertanyaannya mendapatkan bukti menerima suatu apologi akan memudahkan individu untuk memberi maaf dengann cara menigkatkan empati untuk penganiaya. Dalam studi mereka yang kedua mereka mereka menemukan bahwa empahaty mempromosikan lebih banyk perubhn dalam memaafkan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa empati dapat mempengaruhi pemberian maaf dengan cara menfasilitasi empati pada penyerang. Studi yang lain memperkuat keterkaitan maaf dengan empati. Orany yang memafkan penganiaya cenderung memiliki tingkat tinggi empati terhadap mereka (McCollough, dkk, 2002). , dan orang yang mempunyai skor yang lebih tinggi dalam sifat pemaaf juga mamperoleh skor yang lebih tinggi dasifat empati.
Penutup
Tidak dapat dipungkiri jika perilaku maaf (memberi dan meminta maaf ) adalah perbuatan yang sulit untuk dilakukan. Apalagi perilaku maaf yang harus dibarengi dengan keikhlasan (unconditional forgiveness). Hal ini lebih disebabkan sikap egois untuk mengakui kesalahan yang sering mendominasi kepribadian manusia. Akan tetapi, sesuatu yang sulit bukan berarti sama sekali tidak bisa dilakukan. Untuk melatih diri mempunyai sifat pemaaf dan meminta maaf memang perlu untuk dilatih. Saat ini terdapat gerakan memaafkan yang dipimpin oleh Everett L. Worthington Jr., profesor psikologi di Virginia Commonwealth University, gerakan ini menyediakan informasi seputar berlimpah hasil penelitian seputar memanfaatkan ditinjau dari berbagai disiplin ilmu. Maaf salah satu kajian yang cukup penting dan perlu dikembangkan. Apalagi dalam suasana yang penuh konflik seperti sekarang ini.
oleh Bara Latuadi dalam HIDUP SEHAT DENGAN MEMAAFKAN : PERSPEKTIF AGAMA, PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
http://bara4latuadi.blogspot.com/2009/02/hidup-sehat-dengan-memaafkan-perspektif.html
DAFTAR RUJUKAN
Enright, R.D. (2003). Forgiveness Is A Choice. Washington : APA Life Tools.
Enright, R.D. & Baskin, T.W. 2004. Intervention Studies on Forgiveness : A Meta Analysis. Journal of Counseling and Develeopment. 82, 1: 79-91.
Harry M Wallace (2008). Interpersonal Consequences of forgiveness : Does Forgiveness deter or encourage repeat offenses?. Journal of Experimental Social Psychology. 44, 2 : 453 – 460.
Nashori, F. (2008). Psikologi Sosial Islami. Yogyakarta : Refika Aditama
Worthington (2005). Forgiveness in Health Research and Medical Practice : Journal Explore : The Journal of Science and Healing : Vol.1, No. 3.
http//www.hidayatullah.co.id
Untuk mengubah hidup dengan cepat gunakan syukur untuk messenger energi kita. Ketika kita mencurahkan seluruh energi ke dalam syukur, kita akan melihat keajaiban-keajaiban terjadi didalam hidup kita.